People alias Rakyat
By: Desia Sasmito
Kemiripan negara ini dengan tanah air adalah mayoritas muslim, mengimani Allah yang satu dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang terakhir. Jika misal 90% dari total jumlah penduduk Indonesia yang 270 juta, berarti 240 juta adalah muslim Indonesia , yang berarti negara dengan populasi muslim terbesar didunia. Begitu juga dengan negara ini Al Mamlakah Al Magribiyah dengan julukan negara para hafidz berpenduduk 37 juta, jika misal 90% muslim, berarti sekitar 33 juta memeluk agama islam. Maaf, saya menggunakan prosentase 90%, walau mereka mungkin menaruh prosentase 99% muslim ya.
Seperti di Indonesia, disini bisa ditemui hal yang serupa, ada yang islam biasa, ada yang hanya KTP, ada yang islam tapi ngga sholat, ada yang ahli masjid, ada yang sholat dipinggir jalan, di taman atau dimana saja asal masuk waktu sholat ya sholat, ada yang yang santri di pesantren, ada yang hafidz-hafidzah di masjid-masjid, semua tergantung diri masing-masing ya pemirsa. Islam itu damai dan sempurna, tinggal "orang"-nya mau pada level yang mana. Menyindir saya sendiri pada level yang mana ya? Hehe ***garukkepala
Sesuatu yang paling menarik dari orang-orang disini adalah wanita disini akan lebih menyapa wanita, dan laki-laki akan menyapa laki-laki. Tetapi bagaimana kalau bertemu dengan penjual dengan lawan jenis. Ya, mereka akan bertransaksi biasa. Ngga perlu banyak basa-basi kalau dengan lawan jenis, karena basa-basi sapaan dilakukan lebih pada orang sesama jenis yang akan terus dilakukan setiap bertemu, setiap kali berbelanja, saling mengucapkan berbalas do'a.
Misalnya ketika saya dan suami belanja, pas penjualnya laki-laki, so pasti kamu istri ngga usah ngomong, biarkan suamimu yang ngomong ke penjualnya. Si penjual akan lebih nyuekin kamu. Istri hanya perlu ngomong ke suami, ngga perlu ngomong ke penjual. Itu tandanya si penjual sangat menghargai "wanita"-nya suami. Ini pertamakali saya merasakan dicuekin oleh penjual, haha, krik-krik!
Kebanyakan disini penjualnya para pria, walau ada beberapa ibu-ibu tapi itu tak banyak. Pelayan resto, cafe, penjual sayur, toko, penjual daging, tukang sapu jalanan, PKL yang rata-rata laki-laki sang pencari nafkah keluarga. Perempuan mungkin lebih ada pada sektor kesehatan, seperti pegawai Apotek, Rumah Sakit, Guru, atau Cleaning Servis. Terutama bagian bersih-bersih toilet dimana-mana kebanyakan ibu-ibu. Belum pernah ketemu Cleaning Servis yang masih muda. Ibu-ibu juga lebih terlihat pada sektor domestik, seperti bagian memasak, bersih-bersih di rumah, mengantar jemput anak sekolah. Menemani anak main ditaman.
Dengan orang Asing seperti kami mereka cuek, walau sesekali penasaran. Tetapi ada yang sangat begitu ramah dan meminta izin mencium pipi anak saya, terutama anak perempuan dibawah 5 tahun. Malah kadang ketemu pengen nyium, ya nyium aja, baru senyum sama kita. Tanda sayang mereka memang diekpresikan dengan ciuman ke anak-anak. Saya yang sering mematung, karena belum pernah nyium anak-anak kecil disini apalagi baru kenal. Hehe
Beda lagi untuk orang yang berkulit hitam yang asli Afrika. Mereka lebih menjauhkan diri, tampak cuek dan tidak sering menyapa. Mungkin sedikit rasisme dari orang kulit putih yang masih terasa. Bahasa lokal yang mereka gunakan juga agak berbeda. Mereka menggunakan Bahasa pemersatu antar kulit hitam Benua Afrika dikenal dengan Bahasa Guinea. Tapi sekali kenal kulit hitam, kita bisa jadi teman yang sangat solid. Saya teringat dulu pernah kenal dengan seorang wanita Afrika dan tinggal satu kamar di sebuah Asrama. Dia sangat suka kebersihan, mencuci, mengoles lotion, wewangian, berdandan, berfashion, teliti, ramah, peduli, dan tak lupa sholatnya rajin banget. So,Dont judge the book by its cover, ya pemirsa!
#jumatnulis
#miripindonesia
#eropaafrikaarab