Oleh: Desi Sasmito
Brrr.. kulihat butiran bidadari bertebaran sepanjang jalan tak bertuan itu, seperti film di TV. Cantik memang, bersolek, pilu nan gemulai. Sedikit demi sedikit mereka merias diri satu per satu mendarat ke bumi, pelan, lembut, menawan.
Kata orang mereka sangat menyenangkan, sehalus bludru, sebening kristal, seputih kapas, seempuk marsmallow, hanya ada ditempat-tempat tertentu dan hanya jatuh di bagian bumi yang tinggi, tak ada dalam catatan sejarah manapun mereka mendarat di tempat yang rendah. ya, dialah yang mereka sebut "salju", hanya ada di ketinggian tertentu.
Ditepian jendela kaca tertutup rapat persegi panjang dengan dua tirai disisi-sisinya, aku berdiri mengintip penuh rasa ingin tahu.
"Mereka tak secantik dugaanku, kehadiran mereka seperti nyanyian pucat berkabung menyayat hati" kataku sambil membuka jendela mengintip sedikit. Hanya ingin memastikan secantik apa mereka.
"Mereka tak secantik dugaanku, kehadiran mereka seperti nyanyian pucat berkabung menyayat hati" kataku sambil membuka jendela mengintip sedikit. Hanya ingin memastikan secantik apa mereka.
"Kaku, keras, membekukan otak manusiaku", membuatnya hibernasi pikirku. Ya, hari ini pertama kali aku melihat salju turun pelan-pelan menutupi lantai bangunan ala kastil negeri seribu satu malam ini. Kulihat tiga anak gadis Timur Tengah berlarian menyambut kedatangan mereka. Ya, di kampung halaman anak-anak Timur Tengah itu tak tersentuh salju begitupun negaraku dengan ribuan pulau nya, hanya dibeberapa tempat tinggi yang layak mereka datangi, puncak Jaya Wijaya Papua.
Tanpa sadar, seseorang yang duduk dibelakangku memanggil, "Asih, minum teh panasnya?", "enak lho bikin badan hangat", sambil duduk pada alas karpet yang hangat. Gadis itu rupanya mengerti kalau aku kedinginan, yang sedari tadi aku hanya ingin dekat-dekat dengan "hitter" pemanas ruangan disudut jendela ini. Ya, dialah Diana teman satu kamar denganku. Kami tinggal disebuah dormitory atau asrama yang sangat pribadi, seperti tinggal di kastil putri Raja. Aku menyebutnya kastil, karena bangunan itu dibuat mirip kastil, ada halaman dan taman ditengah bangunan, bercat coklat tanah, berpagar gerbang utama ala negeri dongeng.
Aku menggangguk tanda setuju. Kami berdua bercakap-cakap dengan bahasa Inggris. Dia seorang Lithuanian, orang Lithuania negara kecil ditepian timur laut benua Eropa.
"Silahkan..." katanya sambil memberikan aku secangkir teh yang panas.
"iya, terima kasih"jawabku dengan tersenyum.
Kulihat dia meneguk air teh panas itu seketika dengan sekali habis. Ku sentuh tubuh gelas itu, "oww, masih panas sekali".
Aku lebih menikmati teh hangat bukan panas, mereka dengan biasanya meneguk gelasnya yang semenit diangkat dari titik didihnya dan langsung minum. "Gak mlocot!" batinku.
Musim dingin, beginilah kebiasaannya, berjam-jam minum teh hangat, camilan biji-bijian satu piring penuh pun bisa habis dalam semalam. Ngobrol ngalor-ngidul nggak habis-habisnya. "Oh, winter is coming!"
"iya, terima kasih"jawabku dengan tersenyum.
Kulihat dia meneguk air teh panas itu seketika dengan sekali habis. Ku sentuh tubuh gelas itu, "oww, masih panas sekali".
Aku lebih menikmati teh hangat bukan panas, mereka dengan biasanya meneguk gelasnya yang semenit diangkat dari titik didihnya dan langsung minum. "Gak mlocot!" batinku.
Musim dingin, beginilah kebiasaannya, berjam-jam minum teh hangat, camilan biji-bijian satu piring penuh pun bisa habis dalam semalam. Ngobrol ngalor-ngidul nggak habis-habisnya. "Oh, winter is coming!"
Banyak orang yang menghabiskan waktu didalam ruangan dengan hitter yg terpasang di sudut-sudut ruangan. Karena tidak banyak yang bisa dilakukan diluar ruangan, sekedar keluar untuk membeli makanan, ke ruang kelas, atau bermain salju hanya beberapa menit saja.
Apalagi aku yang dari sebuah desa dengan hektaran sawah ladangnya di negara kepulauan dengan kulit tropis merasakan beratnya bertahan dimusim dingin. Menantang untuk ditaklukkan, penasaran untuk didekati, menyenangkan walau cuma sesaat.
