Selasa, 29 Maret 2022

Musim Dingin

Musim Dingin

By: Desia Sasmito

Langit begitu mendung saat kami keluar dari Bandara, tak ada sedikitpun sengatan matahari terpantulkan. Tetesan air yang menempel pada jendela mobil yang membawa kami memasuki kota. Aku sangat tertarik melihat bangunan sekitar jalan menuju ke kota ini. Sederetan bangunan kotak, dengan jendela yang berderet simetris dari lantai dasar sampai ke lantai atasnya. Warna natural  hampir mendominasi setiap bangunan yang tidak begitu tinggi, bukan seperti *skycrappers* yang menjulang tinggi di Jakarta.

Hanya sekitar tujuh puluh menit berlalu  sampailah kami di sebuah rumah dengan ciri yang aku lihat di sepanjang jalan. Rumah deret ketiga dihitung dari pojok, tak tahu nomer berapa, belum tahu nama jalannya, akupun membuka pintu dengan menghirup dingin udara  dibawah pohon seperti daun maple, ah aku belum jeli untuk mengenali jenis pohon di negara ini.

Mereka menyebutnya akhir musim dingin yang sudah hangat, tapi  bagiku yang susah untuk berkeringat sangat merasa kedinginan. Lemak kulitku tembus dengan angin kencang ala gurunnya. Walau tak ada lagi pemandangan gurun lagi dikota ini, tapi iklim, cuaca dan alam tetap menyajikan bagaimana tanah gurun bernafas dan hilir mudik sesuai kodratnya. "Aku tak suka ini!", begitulah otak bekuku ketika bertemu dengan musim dingin.

Ingatanku mulai melalang buana bagaimana aku bisa bertemu dengan musim dingin untuk pertama kalinya. Ya, itu sembilan tahun yang lalu. Bukan hanya musim dingin, tapi hujan salju aku terjang  setiap kali harus berangkat untuk belajar. Rangkap tiga kaos panjang, *sweater*, jaket khusus bahan tebal yang beli di pasar dekat campus menjadi pakaian wajib tanpa mandi berhari-hari.  Sendu setiap kali aku bertemu dengan salju. Tawa setiap aku bertemu dengan teh panas, camilan biji-bijian, berkumpul dengan teman-teman berada dalam ruangan dengan penghangat radiator yang sudah tentu akan menghangatkan tubuh kami yang kedinginan.

Mungkin kalian tak sepakat denganku, kalau dingin itu menyenangkan daripada kepanasan. Tapi tidak buatku. Redup tanpa cahaya seperti kelabu sepi tanpa keceriaan. Dingin yang merengut senyum seseorang. Itulah kenapa orang-orang yang hidup di negara dengan cukup matahari akan lebih hangat, lebih ceria dan lebih ramah. Ah, apakah benar demikian? Atau itu semua hanya pendapatku saja? Entahlah!




Kamis, 24 Maret 2022

Pindah Benua

"Pindah Benua"
By: Desia Sasmito

Hari pertama Ramadhan udara dingin masih saja menyelimuti  kota ini. Berharap matahari bersinar sesekali, langit biru dengan awan putih seperti gambaran anak-anak PAUD, pohon-pohon ditepi jalan yang jauh berbeda dari tempat saya berasal, angin sepoi dingin layaknya AC yang tak pernah bisa dimatikan. Kulit tropis saya pun berontak ingin teriak, berganti kulit layaknya ular, bersisik. Begitupun juga kulit anak-anak saya. Kaku, kering, putih, kasar jika tidak langsung diolesi Vaseline Petroleum Jelly setiap kali bersinggungan dengan air. 

Datang dari Sebuah Desa pinggiran sungai Bengawan Solo dengan berketinggian 46 ft berpindah ke sebuah kota di sebuah Benua dengan ketinggian 520 ft. Tentu saja adaptasi menjadi topik  pembahasan tiap hari dengan anak-anak. Setiap langkah diskusi panjang tiada henti. 

Pindah Benua kali ini bukan hal yang mudah dilakukan, bukan sesulit yang dibayangkan. Selalu ada tantangan, prediksi, intuisi yang harusnya selalu di pakai setiap waktu. Kadang tak semua seperti yang kita harapkan, tak semua orang yang kita temui dijalan adalah orang yang membantu perjalanan kita. Yang bisa kita lakukan adalah banyak berdoa meminta perlindungan.

Ini bukan pertama kali melangkah, banyak langkah yang telah tertempuh, tapi kali ini langkah besar dengan jutaan doa dari orang-orang yang tulus menyayangi kami. Bukan karena hanya doa kami semata. Alhamdulillaah. 

#ojodidelokenaketok
#mumeterataceritani
#momongbocah

Sabtu, 12 Maret 2022

Casablanca

Saat itu waktu menunjukkan hampir tengah hari, aku tak tahu pastinya, tapi hari itu tak secuil sinar matahari menampakkan batang hidungnya. Terdengar pengumuman dalam tiga bahasa dari awak pesawat, Bahasa Inggris,  Perancis dan Arab, bahwa pesawat akan mendarat di Bandara International Casablanca. Aku pun menoleh ke arah anak-anak untuk mengencangkan sabuk pengaman, membetulkan masker dan memegang kantong plastik, lalu aku  mempersiapkan tisu kalau kalau anak-anakku ada yang muntah.

Ku lihat ada dua pramugari hilir mudik memberikan intruksi agar segera mengencangkan sabuk pengaman. Ku lirik anak-anak masih asik main game di layar belakang kursi penumpang. Ya, mereka berdua anteng sejak duduk di kursi pesawat karena layar di depannya menyuguhkan banyak sekali game sederhana. Aku pun tertarik untuk mengambil gambar suasana ini. Sambil ku nyalakan layar di depanku dengan memutar animasi dan peta yang menggambarkan keadaan bagaimana pesawat ini akan mendarat.

Setelah beberapa menit terasa berat suasana, lalu tiba-tiba terdengar roda mendarat utama diturunkan, derit roda yang menggesek landasan pesawat mulai terasa menusuk ulu hati dan alhamdulillah mulus mendarat.

Segera ku persiapkan tisu basah, karena   sesuai dugaan salah satu anakku memutahkan isi perutnya. Ku tukar dengan kantong plastik yang baru dan ku bersihkan sampah yang terlihat berserakan dibawah kursi. Setelah beres semua, lalu aku mengintip ke arah jendela mencoba mencari tahu seperti apakah bandara di kota ini.

Aku tersenyum kecil, Bandara ini mengingatkanku pada salah satu Bandara di tanah air, Bandar Udara Lombok, di kota Mataram. Entah sepuluh tahun yang lalu sudah menjadi Bandara Internasional atau belum, tapi yang pasti sekarang Bandara tersebut sudah berlabel International Airport. Sederhana, tak terlalu luas dan modern tapi sudah Internasional. "Welcome to kota Casablanca", bisikku dalam hati.

Empat ratus tiga puluh enam hari berlalu, kami bersembunyi dari corona virus saat itu menguasai dunua. Jejak kepergian ayah dari anak-anakku untuk merantau ke negara ini, akhirnya aku dan anak-anakku mengikutinya.

Suara pintu pesawatpun dibuka tanda penumpang dipersilahkan turun dari pesawat. "Ini saatnya!" pikirku sambil menurunkan tas dari kabin. Lalu, bergantian untuk keluar menyusuri lorong pesawat. Tak apalah kami belakangan, asal anak-anak siap untuk melangkah.

Akhirnya tiba giliran kami untuk melewati lorong pintu pesawat itu dan dalam beberapa langkah akupun mendengar teriakan anak-anakku, "Babaa..."


@jeeluvina
@nulisyuk
# nulisyukbatch161