"Rumah yang
BerTangga"
by: Desia
Sasmito
Pertama kalinya kami
memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saya bukan semata tanpa alasan.
Banyak pertimbangan dan diskusi panjang dengan menimbang banyak hal. Saat itu
saya hamil tua. Terdengar ibu saya ditelpon yang menyatakan dia sakit, tapi
tidak menjelaskan apa penyakitnya. Tulisan ini adalah salah satu dari beberapa
pertimbangan panjang yang urgently harus dikerjakan di rumah ini.
Ketika itu saya agaknya
teringat pesan dari saudara jauh yang sejak kecil sudah tiada ibu.
"Des, ntar klo kamu
lairan enak ada ibu yang doakan dan bisa bantu kamu, mba ngga punya ibu
des"
Teringat pesan Ibu juga,
“Des, ntar kalau kamu dapat wong adoh terus aku mbek sopo?”
Jawab saya waktu itu, “Ya,
gantian buk, nanti di negosiasi mbek kang bojo”.
Dari pesan singkat inilah
saya merasa ingin mendekat ke Ibu saya dan memutuskan kembali ke rumah.
Untunglah suami saya adalah seorang yang suka bernegosiasi, bahkan saya bisa
katakan ahli. Hehe. Jadi kami banyak menghabiskan waktu untuk diskusi, konklusi
dan negosiasi. Setelah mengkondisikan Ibu mertua saya (Ibu suami saya) yang
saat itu juga sakit, menata rumah induknya yang lama tidak dihuni karena harus
berobat ke kota lain. Suami sayapun mengikuti saya tinggal di Desa. JET LAG?
Tentu saja. Kami JET LAG memulai semuanya dari rumah ini. Haha.
Walau saudara kandung
saya ada tiga, jadi kami berempat. Tidak satupun tinggal di rumah ini. Kami
mandiri dengan cara kami masing-masing. Setelah menikah, kami akan berdiri di
kaki sendiri. Intinya di rumah ini waktu itu hanya ada Bapak dan Ibu, dan satu
anak angkat yang bisa bersekolah dan biasanya bantu ibu.
Saya ngorek info dari
beberapa tetangga dan teman dekat ibu akhirnya kami mengetahui apa sebenarnya
terjadi.
Ibu saya terdiagnosa
breast cancer stadium 3,dan Ibu menjalani terapi herbal dengan minum kapsul
kunyit putih, yang katanya juga seorang dokter di Jogja. Saya temukan juga
beberapa kardus bekas kapsul-kapsul tsb yang memang sudah dikomsumsi Ibu saya
beberapa bulan sebelumnya.
Membujuk, merayu dan
meyakinkan Ibu saya untuk berobat medis memang menjadi tantangan tersendiri.
Ibu saya yang seumur hidupnya belum pernah nginep di RS kecuali hanya untuk
melahirkan kami anak-anaknya. Dan setiap Ibu saya mengeluh tentang sakitnya,
saya mengisi dan memberi pilihan. “Ayo ke RS ke Surabaya ke Dokter spesialis?”
Lama-lama Ibu pun mulai
berubah pikiran di bulan berikutnya. Ibu akhirnya mau berobat ke Surabaya.
Dengan petunjuk saudara dan kolega kami di Surabaya kami menemukan Dokter
Onkologi yang pas buat Ibu Saya.
Di tahun pertama, Ibu
bisa survive. Tahun kedua, terjadi serangan, Ibupun survive. Pada tahun ketiga,
dimana menjadi puncak segalanya, situasi Dokter yang tidak ada ditempat,
ruangan RS yang selalu penuh perjuangan, kondisi Ibu yang menurun, Ibu pun
tidak terselamatkan. Meninggalkan kami diakhir tahun 2017.
Lima tahun pertama
pernikahan kita akan menemukan banyak sekali tantangan, saya menyebutnya bukan
ujian. Ibarat suami saya adalah Timur, saya ini Barat. Itulah sebabnya kami
tinggal di BUMI. Haha.
Tantangan kita adalah
bagaimana bersabar menerima kekurangan masing-masing, dan menemukan kelebihan
masiing –masing. Kekurangan itu adalah hal yang paling sepele dan hanya bisa
dijalani dengan KESABARAN. Dan kelebihan itu harus ditemukan, disugesti,
dimotivasi, diasah dan diyakinkan oleh pasangan. Karena KERAGUAN selalu siap
mengintai dan mematahkan semangat. Tetaplah terus belajar, upgrade diri sesuai
jaman tanpa terlindas jaman. Rumah Tangga itu rumah yang penuh tangga, kamu
akan naik level tangga berikutnya kalau kamu bisa melalui tangga sebelumnya.
Tetaplah hati-hati melangkah, tetaplah mendekat ke Tuhanmu, tetaplah do your
efforts, kamu tidak sendirian. Setiap kita mempunyai tantangan hidup
berbeda-beda, selalu ada alasan dalam setiap keputusan. Don’t judge if you can
not do better.
“If you feel that he or
she is a magic, then he or she belongs to you. Insha Allaah. “
#memoriperjuangan
#alasandibalikkeputusan
#lifeistooshort

