#kankerpayudara
#kankerstadiumlanjut
Teringat beberapa tahun yang lalu ketika saya masih
dibangku kuliah. Haha, kuliah katanya, udah lama banget ya ternyata jadi back
to self home schooling.
Ketika itu ada seorang tua di desa kami yang
sakit-sakitan berhari-hari, berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun. Ibu
saya seketika itu bilang "nanti kalau tua nanti saya minta ngga usah
sakit-sakitan, kasihan yang ngurusi". Ibu saya tidak pernah minta sakit, atau mungkin ribuan
atau jutaan ibu -ibu yang lain saya yakin tidak ada yang mau sakit. Tapi bila
suatu hari Allah yang memilihkan untuk kita, memilih tubuh kita yang milikNya
untuk diberi penyakit, siapa yang bisa mengelak? siapkah kita diujiNya?
Seberapa pahala yang mampu kita raih? PR buat kita
semua yang sedang sakit atau pun bahkan yang masih sehat? Atau mungkin malah
ujian itu dibidikkan untuk orang-orang yang sehat? Sudah seberapa siapkah
kita untuk sakit? Bukankah sakit itu adalah cara Allah mencintai hambaNya? Tapi
kenapa mereka lebih suka menamainya sebagai "musibah". Ada ketidakseimbangan yang harus dibayar dengan sakit
agar kembali seimbang? Mungkin juga Allah memanggil kita untuk selalu meminta
dan mendekat kepadaNya.
Saya melihat ibu saya berbaring tak berdaya, menahan rasa
sakit yang kadang datang dan pergi. Kadang kami bingung dibuatnya, antara rasa
sakit palsu, emosi yang tak terkontrol, atau hanya cari perhatian saja. Memang
itulah yang dirasakan ibu, perasaan ngga karuan, bimbang, takut dan hilang
harapan.
Bapak yang merawat ibu tiap haripun, mulai menampakkan
kebimbangannya hopeless tentang kelanjutan berobat, juga Rumah Sakit yang selalu antri. Kami memakai asuransi kesehatan BPJS yang sangat membantu pengobatan kanker Ibu saya.
Sedangkan saya hanya mampu mengumpulkan informasi
bagaikan menemukan kepingan puzzle yang harus dipasang menjadi sebuah gambar
yang jelas. Semuanya tidak ada yang mudah, sulit ya itulah hidup tapi harus
dilalui dengan berbagai rasa. Kalau tidak sulit, nama nya bukan perjuangan, ya
ngga?
Ibu saya adalah seorang kanker payudara survival,
bermula dengan benjolan kecil pada payudara yang membesar, kadang mengecil
sekitar tahun 2012. Mungkin setelah sekitar dua tahun, dokter merujuk untuk
segera operasi, karena benjolannya dirasa mulai aktif. karena seumur hidup ibu
belum pernah menjalani operasi, ibu pun nekat beralih ke pengobatan alternatif,
tetapi beberapa bulan setelahnya tidak membuahkan hasil, malah bertambah besar.
Akhirnya diakhir bulan Desember 2014, Ibu menyerah, setelah kami memberi saran
dan berkali-kali mempengaruhi gaya berfikirnya, hasilnya Ibu merasa yakin untuk berobat ke dokter
lagi, medis.
Setelah
menjalani operasi mastektomi (payudara sebelah kiri diangkat) pada bulan April
2015, pasca operasi menjalani kemoterapi dan radioterapi, walaupun dokter tidak
pernah memberi tahu saya langsung, tetapi dengan berkas dan gejala ibu, saya
pun rajin mencari bacaan, entah itu dari blog, fb, google atau buku. Saya tahu
bahwa ibu adalah pasien kanker stadium lanjut, stadium akhir. Hanya saja saya
masih ada keyakinan kalau ibu bisa bangkit lagi. Kejadian ini sama persis
dengan rawat inap di Rumah Sakit bulan November
2016 yang lalu, ketika itu ibu jatuh mendadak, lunglai tidak bisa menggerakkan
sebagian anggota tubuhnya, jalan tidak mampu, bahkan terakhir dudukpun tak
mampu. Alhasil, ibu harus pakai pampers dan full bed rest.
Begitu pula dengan bulan januari 2017 ini, hal yang
sama terjadi sama persis, cuma kali ini bapak sudah give up menyerah dengan
keadaan ibu.
Setiap saya berdiskusi tentang rawat inap, bapak
selalu marah. Saya pun pantang menyerah, lobi sana sini, diskusi ini dan itul.
Saya mengerti karena bapak kondisi tubuh tidak fit, kecapekan secara metal dan
fisik mengurus ibu akhir-akhir ini. Akhirnya bapak mengizinkan saya untuk
membawa ibu ke rumah sakit.
Bapak dengan bendera putihnya, beberapa orang di sekitar
yang mencoba menularkan pesimisnya, perawat-perawat di rumah sakit yang
meniupkan bisikan hilang harapan, mereka semua tidak membuat saya ragu
berjalan. Dengan dukungan suami dan siblings, saya membawa ibu serta anak saya
yang berumur 2 tahun menginap di rumah sakit. Memang bukan hal mudah, tetapi tantangan tersendiri.
Seperti mengalahkan dinginnya salju musim dingin, mendaki gunung Bromo, mendaki
gunung Ijen, saya menikmatinya. Saya tahu tidak ada yang saya sukai, tetapi
saya menikmatinya. Mau nya ngeyel dan tidak suka, tetapi harus dijalani.
Untuk para keluarga pasien kanker, jangan pantang
menyerah, takdir kematian, jodoh, kelahiran dan Rejeki memang Tuhan Allah yang
menentukan tetapi nasib ada ditangan masing-masing dengan berdo’a semoga Allah
menuntun memilihkan keputusan yang terbaik atas izinNya. “Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum, jika tidak kaum itu sendiri yang berusaha mengubah
nasib mereka sendiri”.
Beberapa minggu terakhir ini, memasuki bulan Februari
2017 Ibu saya jauh membaik. Dari kehilangan sadarnya, bicaranya, geraknya,
pendengarannya, matanya, sekarang Ibu bisa berjalan lagi. Setelah menjalani
Radioterapi selama hampir 15x, hari ini yang terakhir. Terima kasih untuk Ibu Dokter
Dyah Erawati dan Bapak Dokter Heru Purwanto yang selalu kami repotkan.
Kesimpulan saya, bahwa memang tipis harapan untuk sembuh, tetapi besar kesempatan untuk mengelola, merawat pasien sebaik-baiknya dengan berbagai macam pilihan perawatan medis. Mereka dengan berbagai macam penyakit kankernya bisa bertahan bertahun-tahun dengan rajin check up ke dokter, mengetahui perkembangan dalam tubuhnya, serta mengambil tindakan yang tepat.
Tetap optimis dan berdo'a, selalu berfikiran positif dan terus move on.
Satu lagi yang mendukung jalannya pengobatan adalah banyak bersedekah, membaca dan mendengarkan Al Qur'an dan menyenangkan hati pasien.
 |
| Infus Rawat Inap |